Dimana kita hari ini
Dua minggu usai pemilu, banyak yang merasa harapannya putus melihat kemungkinan hasil akan siapa yang maju menjadi presiden dan wakil presiden. Melihat kemungkinan pemenangnya siapa, banyak perempuan muda kota yang merasa bahwa pemenangnya tidak punya kepekaan gender, membuat mereka hanya fokus kepada masalah yang ada sehingga tak bisa membayangkan atau berimajinasi tentang kehidupan yang lebih baik seperti apa. Hal ini terjadi ketika seri diskusi Mengimajinasi Politik Perempuan yang pertama digelar pada 25 Februari 2024. Kegiatan ini dilaksanakan di Better World, sebuah kafe yang dimiliki oleh salah satu pegiat hak perempuan yaitu Donna Swita, di jam 12.00 – 15.30. Peserta yang daftar yaitu ada 31 orang dan yang tidak hadir ada 5 orang. Acara ini difasilitasi oleh Dea dan Eva.
Pada diskusi ini, digunakan pendekatan baru yaitu peserta didorong untuk menulis dan menggambar imajinasi politik perempuan dalam sebuah kertas serta membagikannya sambil bercerita. Metode ini dipinjam dari salah satu kegiatan AWID (Association of Women in International Development) dimana mereka menggunakan illustrator untuk melukiskan dunia yang feminis itu seperti apa.
Ketika ditanya bagaimana mengenai imajinasi politik perempuan yang teman-teman perempuan muda bayangkan, jawabannya adalah tentang masalah yang ada hari ini. Tentunya masalah-masalah ini sudah banyak diketahui oleh perempuan muda yang memiliki perspektif gender namun tampaknya teman-teman masih belum dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika semua masalah itu terselesaikan. Hal ini terjadi karena teman-teman peserta masih berada dalam mental untuk bertahan untuk survival mentality yang membuat mereka kesulitan untuk berimajinasi.
Mendorong perempuan untuk berimajinasi
Jadi bagaimana memantik teman-teman untuk mengimajinasi? Tentunya fasilitator harus dapat terus memberikan gagasan-gagasan yang tak pernah terpikirkan seperti membayangkan seorang presiden adalah seorang transpuan, atau misalkan bagaimana negara yang memikirkan lansia dimana semua akses kebutuhan dan fasilitas lansia terjamin. Karena fasilitator mengusulkan presiden transpuan, ada peserta yang nyeletuk ingin melihat presiden perempuan dari Indonesia Timur.
Sejak saat itu teman-teman mulai berpikiran realita apa saja yang bisa mereka bayangkan. Walaupun teman-teman kesulitan membayangkan namun mereka bisa didorong dengan mengajak melihat dunia yang lebih membahagiakan.
Ada salah satu pernyataan yang mengandaikan tidak ada diskriminasi bagi perempuan pekerja sehingga ketika mereka ingin mengajukan pinjaman atau berbagai hal yang membutuhkan slip gaji, perempuan tidak perlu meminta slip gaji suami. Pekerjaan dilihat sebagai cara untuk bertahan namun tidak dilihat sebagai cara untuk membuat hidup bermakna. Disini fasilitator harus bisa memberikan alternatif dalam melihat bekerja adalah sebagai aktualisasi bukan lagi sebagai sebuah kebutuhan untuk bertahan hidup semata saja. Bagaimana jika bekerja adalah cara mewujudkan mimpi dan merasa bahagia bukan untuk memikirkan besok makan apa. Kemudian salah satu peserta lainnya menimpali dengan “Jaminan Perwujudan Mimpi.” Di saat yang bersamaan terkait pekerjaan, ada juga yang membayangkan kerja hanya 4 jam sehari dan dalam 4 hari.
Imajinasi perempuan tidak hanya di hal-hal publik saja tapi hal-hal yang kecil seperti adanya depot refill skin care, bisa membawa hewan ke tempat kerja, pendidikan politik feminis, tidak ada penjara hingga tidak ada perbatasan antar negara sehingga siapa saja bisa bergerak bebas. Bahkan teman-teman sudah bisa membayangkan adanya pejabat queer, pesantren ramah queer dan Indonesia yang ramah queer dan disabilitas..
Mendorong imajinasi memang membutuhkan seseorang terekspos dengan kemungkinan-kemungkinan baik yang dapat terjadi. Oleh karena itu para fasilitator harus bisa terus bertanya kepada peserta “jika semua masalah perempuan itu terdapat tertasi, apa yang akan terjadi?” Ketika jawabannya masih di tidak ada pernikahan anak dan kekerasan seksual maka kita harus tanya lagi “Apa jadinya jika anak-anak tidak menikah?”
Politik harapan
Ditengah gempuran politik yang patriarkis dan saling beradu membuat kita merasa putus asa dengan kondisi yang ada. Selain itu kita juga perlu untuk memulihkan diri setelah bertahun-tahun dibuat merasa kecil karena politik yang ada hari ini tidak mengakomodir kebutuhan perempuan terlebih dengan adanya pembungkaman beberapa elit terhadap perempuan dan kelompok minoritas dan marjinal. Jadi apa langkah selanjutnya?
Bivitri Susanti kemudian datang untuk memberikan sedikit pencerahan tentang Asset Based Approach atau Pendekatan Berbasis Aset. Hal ini dilakukan dengan melihat dan menilai kekuatan yang dimiliki perempuan untuk mencapai hal-hal yang kita bayangkan. Ia kemudian menuturkan bagaimana kita bisa memutar politik yang membuat kita takut atau politics of fear yang terus menakut-nakuti kita menjadi politics of hope. Agenda Politik Perempuan adalah agenda politik yang penuh harapan karena kita membayangkan dunia yang aman bagi semua.
Disini peserta terlihat menyadari betapa sudah lamanya kita terkungkung dalam ketakutan sehingga kita tak melihat adanya kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi dalam hidup kita.
Kekurangan
Acara ini masih kurang inklusif karena sulitnya menjangkau teman-teman disabilitas serta tidak adanya JBI karena keterbatasan biaya.
Leave a Reply